Saat itu hari semakin sore. Beno baru pulang dari sekolah. Dia siswa kelas IX sebuah SMP terkenal di Malang.
“Aduh, Ben…sekarang sudah jam berapa? Seragam kamu kotor sekali ? Ngapain aja kamu ?” Tanya mamanya sambil keluar dari dapur.
“Mama, nanyanya pelan-pelan aja dong!” jawab Beno,”Aku tadi main sepakbola dulu , lapangannya becek karena habis hujan, jadinya ya gini deh…tapi tetap cakep kan?”
Mama Cuma diam sambil geleng-geleng kepala melihat sikap santai anak lelaki yang disayanginya.
“Ma, mau dengar cerita gak…?” pancing Beno sambil mencomot pisang goreng yang ada di meja.
“Cerita apa…kamu dapat nilai minim lagi…remidi lagi?,” ujar mama gak sabar
“Duh ma, sabar dong, yang ini gak ada hubungannya dengan nilai, tapi bisa mensuport nilai Beno dalam pelajaran,”jawab Beno yang semakin menambah penasaran hati mamanya.
“Apaan sih?” tanya mama sambil duduk di depan Beno yang asyik mengunyah .
“Ma, anak mama yang paling ganteng ini, sekarang dah punya cewek. Baru tadi pagi nembaknya. Namanya Anggi…cantik dan menarik, mama aja kalah,”
“Aduh anak mama, rupanya udah gede dan udah berani pacaran. Ya gak papa, tapi belajar harus tetap nomer satu. Ntar lagi kan ujian, jangan sampai kamu gak lulus, atau lulus tapi dengan nilai pas-pasan,jangan bikin mama malu lho.”
“Beres ma, Beno mandi dulu ya.” Sahut Beno sambil beranjak meninggalkan mamanya.

*
Keesokan harinya, jam 06.00 pagi Beno sudah siap di depan rumah Anggi, cewek barunya. Anggi cewek mungil yang cantik itu adik kelas Beno. Tubuhnya yang ringkih selalu membuat Beno merasa ingin melindungi gadis itu. Kulitnya putih, kontras sekali dengan rambutnya yang hitam sebahu. Beno bangga bisa menakhlukkan hati Anggi, cewek yang terkenal dingin dan sulit didekati cowok.
Dua bulan berlalu. Hubungan Beno dan Anggi semakin erat. Dimana ada beno, pasti disitu ada Anggi. Apalagi mama Beno ternyata dulu adalah teman mama Anggi. Jadilah mereka mendapat restu dari kedua belah pihak.
Tapi tanpa diduga oleh Beno, kebahagiaan yang dirasakannya ternyata hanya sekejap. Sore itu Beno datang ke rumah Anggi sambil mengantar kue dari mamanya untuk mama Anggi. Rumah Anggi sepi…..seperti tak berpenghuni. Lama sekali Beno mengetuk pintu…..sampai akhirnya mama Anggi muncul dengan lesu dan wajah yang sembab.
“Selamat sore Tante, Anggi ada? E…ya ini ada titipan kue dari mama,” sapa Beno
“Sore Ben, masuk dulu yuk,” kata mama Anggi sambil membuka pintu dan mengajak Beno duduk di ruang tamu.
“Kok sepi Tante ?”
Mama Anggi menghela nafas panjang seakan ingin menghempaskan semua beban yang menghimpit di dadanya
“Tante kenapa sih, kok kelihatannya sedih sekali?,”Tanya Beno agak mendesak karena merasa tak nyaman dengan situasi itu. Tanpa disangka Beno, mama Anggi menangis sesenggukan. Beno jadi serba salah.
“Maaf Tante, apa Beno menyinggung perasaan Tante?”
“Nggak Ben….bukan itu…tapi ini soal Anggi……”
“Anggi kenapa Tante..,” sela Beno tak sabar.
“Anggi…Anggi masuk rumah sakit tadi pagi Ben.”
“Ben, kamu harus tahu…sebenarnya..Anggi sejak SD menderita
Kanker darah, kami sudah berusaha sebisa mungkin untuk mencari kesembuhan buat Anggi, tapi….” Mama Anggi tidak mampu lagi meneruskan kalimatnya. Beno terhenyak, terdiam, tak tahu harus berbuat dan ngomong apa.
“Ben, kamu mau ke rumah sakit sama Tante, disana sudah ada om yang jagain Anggi?” Tanya mama sambil terisak-isak. Beno tak mampu berkata apa-apa lagi, Cuma mengangguk lesu.
Hati Beno yang tinggal separo, kian menciut lagi setelah melihat keadaan Anggi yang tergolek lemah di rumah sakit. Slang infuse dan oksigen bersliweran di tubuhnya yang ringkih. Anggi sedang tidur, sehingga tak menyadari kehadiran Beno dan mamanya.
Tak terasa air mata mengambang di pelupuk mata Beno. Karena tak mampu mengatasi perasaannya, Beno memilih menyingkir dan duduk di koridor depan kamar Anggi. Mama Anggi mengikuti Beno dan duduk di sebelahnya.
“Ben,..tante tahu bagaimana perasaanmu, kamu pasti kecewa karena Anggi menyembunyikan ini darimu. Tapi mohon kamu maafkan. Dia mencintaimu. Sesuatu yang berusaha dia hindari selama ini. Dia selalu menjauh dari laki-laki. Hanya kamu yang mampu meluluhkan hati Anggi. Maafkan dia Ben….dia tahu sisa umurnya dapat dihitung……maafkan ben….,”mama Anggi tak kuasa menahan tangisnya lagi.
“Tante…bukan itu yang membuat saya sedih….tapi mengapa saya tak pernah tahu kalau dia sakit, itu yang membuat saya merasa bersalah sekali…saya belum cukup membahagiakan dia Tante…”
“Dia yang melarang tante memberitahukan ini Ben, dia takut kamu meninggalkannya kalau tahu ternyata dia sakit, maafkan tante Ben.”
Keduanya samaa-sama terdiam, hening dalam pikirannya masing-masing. Namun keadaan itu terusik oleh teriakan papa Anggi yang memanggil istrinya. Mama Anggi tergopoh-gopoh masuk kamar diikuti oleh Beno.
“Ma…mama…,” desah Anggi pelan
“Ya sayang, ini mama….ini ada Beno juga sayang,” kata mama Anggi sambil menggenggam tangannya.
“Sakit..sakit ma…” erang Anggi. Beno mendekat dan memegang tangan Anggi. Mamanya mundur memberi kesempatan Beno.
“Anggi….ini aku…,” kata Beno pelan sambil menahan tangis.
“Ben….Beno….maafkan aku, seharusnya aku……”
“Sudahlah Nggi…..jangan diteruskan, tak ada yang harus dimaafkan. Kamu harus sembuh ya…kamu harus kuat…”
“Ben, aku……”
“Sst…sudah, aku menyesal mengapa baru sekarang aku tahu…”
“Ben, tiap orang punya baterai kehidupan. Aku tak mau melihat kamu sedih saat aku kehabisan bateraiku. Baterai itu yang membatasi kehidupan kita. Dan….baterai itu ternyata tak bisa diisi ulang….aku….aku…..oh…sakit sekali…oh….” Anggi kembali mengerang kesakitan.
Seminggu berlalu. Anggi tetap dalam kesakitannya, dan Beno sedih dalam kesendiriannya. Setiap hari sepulang sekolah, dia selalu menyempatkan diri menjenguk Anggi, sendiri…atau kadang-kadang bersama mamanya.
Dan kalau ada hari yang paling menyedihkan, itu adalah hari Sabtu dini hari…ketika hpnya berbunyi….dengan sigap Beno mengambilnya dan ….dia merasakan badannya lemas tak bertulang, ketika papa Anggi memberi tahu bahwa Anggi telah menghadap sang Khalik…..
*
Pemakaman itu sederhana tapi sungguh besar maknanya bagi Beno. Hari ini separoh hatinya telah terkubur bersama jasad Anggi. Gadis yang dua bulan ini telah menemani hari-harinya, gadis ringkih yang selalu ingin dilindunginya….selalu ingin dibahagiakannya.
Beno tetap terdiam, bersimpuh di gundukan tanah merah yang masih basah. Dia terpekur…seakan-akan Anggi ada di depannya. Tepukan di bahunya menyadarkan Beno…ternyata mama Anggi masih menunggunya.
“Ben, dia menitipkan ini untukmu…” katanya sambil menyerahkan sepucuk surat.”Tante duluan ya…kamu mau bareng?”
Beno menggeleng,”Nanti aja Tante, saya masih ingin di sini.”
Beno kembali bersimpuh dan membuka surat Anggi yang ternyata hanya sebuah puisi singkat:
Beno,
Karena cinta kita suka
Tapi hidup pemisah kita
Bateraiku kecil
tapi tidak dengan punyamu
yah….akhirnya kita terpisah
bukan karena tak suka
tapi karena aku tak kuasa
Maafkan aku…
Karena sudah berani mencintaimu…..
Dengan pelahan Beno melipat surat itu. Dia tak bisa berkata apa-apa lagi. Kesedihan begitu bertumpuk sehingga terlalu pekat untuk disampaikan. Tapi Beno tahu, baterainya tak selemah Anggi. Dia akan selalu…dan selalu mencoba mengisi baterai kehidupannya, meski pada akhirnya dia harus menyerah pada yang kuasa………..
0 komentar:
Posting Komentar